Argumento a Contrario

Penemuan hukum atau rechtsvinding harus dilakukan hakim ketika Ketika undang -undang tidak spesifik atau tidak jelas dalam memutus suatu perkara. Dan juga pada, Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa seorang hakim dilarang menolak perkara. Lalu, hasil temuan (hukum) tersebut akan menjadi hukum atau sebagai acuan oleh hakim atau dengan kata lain menjadi yurisprudensi. Salah satu Penemuan Hukum yang memakai penalaran adalah Argumentum a contrario.

Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

Pengertian Penafsiran Pengungkapan Secara Berlawanan

Sehubungan dengan pertanyaan yang diajukan, menafsirkan undang-undang secara berlawanan disebut juga dengan argumentum a contrario. Terkait ini, dalam bukunya R. Soeroso dalam Pengantar Ilmu Hukum (hal. 115) dikatakan bahwa penafsiran a contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang.

R. Soeroso selanjutnya juga menjelaskan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan.

Sedangkan, Sudikno Mertokusumo menerangkan bahwa pada a contrario menitikberatkan pada ketidaksamaan peristiwa. Terkadang, suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tapi kebalikan dari peristiwa itu diatur dalam undang-undang. Di sini peraturan yang disediakan untuk peristiwa yang dicari hukumnya tidak ada, namun yang ada adalah peraturan yang khusus disediakan untuk peristiwa lain yang tidak sama, tapi ada unsur kemiripan dengan peristiwa yang akan dicari hukumnya.

Kemudian, pada hakikatnya penafsiran a contrario sama dengan penafsiran analogis hanya hasilnya berlawanan. Analogi membawa hasil positif sedangkan penafsiran a contrario hasilnya negatif. Adapun penafsiran berdasarkan argumentum a contrario mempersempit perumusan hukum atau perundang-undangan. Tujuannya adalah untuk lebih mempertegas adanya kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan keraguan. Juga sebagaimana kita ketahui sebelumnya hukum Pidana tidak mengenal analogi dikarenakan pasal 1 ayat 1 KUHP walaupun pada dasarnya sebagaimna Pompe menyatakan analogi tidak dilarang tetapi tetap mengacu juga kepada hakim.

Perbedaaan penggunaan undang-undang secara analogi dan berdasarkan argumentum a contrario adalah:

• Menggunakan undang-undang secara analogi memperoleh hasil yang positif; sedangkan argumentum a contrario memperoleh hasil negatif.
• Menggunakan undang-undang secara analogi adalah memperluas berlakunya ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan; sedangkan secara a contrario mempersempit berlakunya ketentuan undang-undang.

Persamaannya penggunaan undang-undang secara analogi dan berdasarkan argumentum a contrario adalah:

Penggunaan undang-undang secara analogi dan argumentum a contrario sama–sama berdasarkan konstruksi hukum. Kedua cara tersebut dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah. Kedua cara tersebut diterapkan sewaktu pasal dalam peraturan perundang-undangan tidak menyebut masalah yang dihadapi.Maksud dan tujuan antara kedua cara tersebut adalah sama-sama untuk mengisi kekosongan di dalam Undang-Undang.

Contoh Penafsiran Argumentum A Contrario
Dalam pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka waktu tertentu yaitu 300 hari sejak perceraian dengan suaminya. Berdasar Argumentus a contrario (kebalikannya) maka ketentuan tersebut tidak berlaku bagi lelaki/pria. Menurut Azas hukum Perdata (Eropa) seorang perempuan harus menunggu sampai waktu 300 hari lewat sedangkan menurut Hukum Islam dikenal masa iddah yaitu 100 hari atau 4 x masa suci karena dikhawatirkan dalam tenggang waktu tersebut masih terdapat benih dari suami terdahulu. Apabila ia menikah sebelum lewat masa iddah menimbulkan ketidak jelasan status anak yang dilahirkan dari suami berikutnya.

Akhirnya dari uraian2 di atas dapat disimpulkan bahwa :
Menurut pandangan baru (modern) bahwa hukum yang ada itu tidak lengkap, tidak dapat mencakup seluruh peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Oleh sebab itu hakim turut serta menemukan hukum yang oleh Prof. Mr. Paul Schalten menyebutkan Hakim menjalankan Recht vinding.
Walaupun Hakim turut menemukan hukum, ia bukanlah legislatif.

Dengan kata lain, berdasarkan argumentum a contrario (berlawanan), dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki karena soal yang dihadapi tidak diliputi oleh pasal tersebut. Pasal 34 KUH Perdata, tidak menyebutkan apa-apa tentang seorang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada perempuan.
Contoh lain, apa yang dimaksud dengan sebab yang halal yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan secara detail dan spesifik. Namun, Pasal 1337 KUH Perdata mengatur tentang sebab yang terlarang yaitu yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Sehingga, secara a contrario dapat diketahui bahwa sebab yang halal adalah sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.