Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Cipta Kerja dan Upaya Merusak Konstitusi.

Perhatian publik kembali diarahkan pada suatu kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintahan Bapak Jokowi, dimana terhadap yang dkeluarkan tersebut mendapat respon beragam dan ramai di kalangan masyarakat. Ragam respon yang dikeluarkan oleh masyarakat pada satu sisi ada yang menerima kebijakan tersebut namun pada sisi berbeda ada juga yang menolak kebijakan tersebut, yah kebijakan tersebut telah menyita perhatian luas.

Kebijakan yang dimaksud di atas adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, yang ditetapkan oleh Presiden pada Tanggal 30 Desember 2023. Dikeluarkannya PERPU oleh pemerintah dengan alasan yang masih belum diketahui secara pasti tersebut, baik oleh Presiden sendiri maupun jajaran Menteri di kabinet kerjanya.

PERPU dalam kajian ilmu hukum menjadi salah satu aturan hukum yang berlaku dalam sistematika peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang dimaksud dalam Ketentuan Pasal 7 Huruf (c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. PERPU sebagai aturan hukum di Indonesia, memiliki norma dan penegakan berbeda dalam pembentukannya. Jika dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) sampai Peraturan Daerah (PERDA). Hal ini dikarenakan PERPU ditetapkan oleh Presiden atas ikhwal kegentingan memaksa sebagaimana Ketentuan Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan:

“Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perbedaan PERPU dengan peraturan perundang-undangan lainya tersebut antaranya adalah; Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang., Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau sudah ada tapi tidak mengakomodasi kepentingan hukum masyarakat., Ketiga, dan kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat Undang-Undang sesuai prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.

Kebijakan PERPU ini tentunya sangat mengagetkan banyak orang, tidak hanya para akademisi, praktisi, pekerja dan mahasiswa, oleh banyak masyarakat umum menanggapi keluarnya kebijakan PERPU tersebut dengan penuh tanda tanya. Kalau diibaratkan, PERPU yang dikeluarkan oleh pemeritahan Bapak Presiden Jokowi tersebut seperti terbangunnya suatu bangunan rumah tanpa diketahui siapa yang membangun?, bahan yang digunakan dalam membangun? dan berapa lama waktu yang dibutuhkan selama pengerjaan bangunan?.

Selain itu, ramainya kebijakan PERPU ini diperparah dengan kesan pemerintah yang seolah mengurung diri setelah menerbitkan PERPU. Sedangkan, disaat bersamaan terdapat banyak telingi yang membutuhkan penjelasan terkait alasan penerbitan PERPU. Selanjutnya, sikap diam yang ditunjkkan tersebut tidak hanya dilakukan oleh Menteri di kabinet kerja namun juga oleh Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.

Tidak hanya perihal PERPU yang diterbitkan secara tiba-tiba, Presiden dan Wakil Presiden serta Menteri di kabet kerjanya yang memilih diam, keberadaan PERPU ini diperparah dengan dugaan menciderai Putusan Mahkamah konstitusi (MK) yang sebelumnya telah menyatakan jika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja berlaku secara Konstitusional bersayarat. Putusan konstitusional bersyarat ini mengisyaratkan bagi pembuat undang-undang untk memperbaiki kekurangan yang ada dalam UU Cipta Kerja.

Selajutnya, ketika perbaikan yang dimaksud dalam putusan MK tersebut telah diperbaiki oleh pembuat Undang-Undang, maka UU Cipta Kerja akan berlaku final dan binding. Hanya saja, diterbitkannya PERPU oleh Pemerintah ditanggapi seolah-olah Presiden tidak menghormati putusan MK dan tidak taat pada nilai konstitusionalisme yang dijalankan. Kalau sudah Presiden sendiri yang tidak menghormati Putusan MK, maka apakah keberadaan MK masih bisa dianggap sebagai Guardian Of Constitusi?

Sekiranya keberadaan PERPU Cipta Kerja ini menjadi citra buruk bagi dunia hukum dan pemerintahan era kepemimpinan Bapak Jokowi. Hal ini dikarenakan kondisi yang ada sekarang belumlah beralasan cukup untuk menerbitkan PERPU, terlebih lagi tidak adanya penjelasan dari pembuat PERPU terkait alasan penerbitan PERPU yang dapat dijelaskan kepada masyarakat dan/atau khalayak umum.

Terakhir kali seorang Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM dan sekaligus juga Ketua MK Periode tahun 2008 – 2013 memberikan pernyataan terkait alasan penerbitan PERPU. Katanya alasan yang mendasari penerbitan PERPU dikarenakan atas 2 (dua) hal sebagai berikut; Pertama, prediksi dari 4 Lembaga Keuangan Internasional yang menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 akan berjalan sulit yang hanya berkisar antara 3 -5 % saja. Prediksi yang dikeluarkan oleh Lembaga Keuangan Internasional tersebut menurut pemerintah akan sangat jauh dari target pertumbuhan ekonomi 2023 yaitu minimal 5,3%, dengan demikian kiranya penerbitan PERPU cukup berlasan untuk segera diterbitkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.

Alasan kedua adalah efek perang Rusia-Ukraina yang mengakibatkan krisis sumber daya dan turut serta memengaruhi peta politik global. Kondisi perang yang masih terus berlangsung tersebut kata Prof Mahfud telah banyak memengaruhi krisis yang terjadi secara global dan memengaruhi banyak negara diseluruh penjuru dunia, tidak terkecuali kondisi Indonesia yang turut terdistrupsi akibat adanya perang tersebut.

Hanya saja, baik alasan pertama maupun alasan kedua yang diutarakan oleh Prof Mahfud di atas belum mampu menjawab keraguan masyarakat terkait terbitnya PERPU Cipta Kerja. PERPU Cipta Kerja terbit karena ikhwal kegentingan katanya memaksa tersebut nyatanya belum tepat untuk dikatakan sebagai ikhwal kegetingan memaksa. Alasan tersebut menurut penulis dikarenakan pertimbangan dalam menentukan ikhwal kegentingan memaksa diharuskan dalam kondisi memaksa yang sedang terjadi, berakibat buruk bagi negara dan justru bukan berdasarkan prediksi semata.

Selain itu, terbitnya PERPU Cipta Kerja di akhir tahun 2022 seolah menjadi anomali, dimana prediksi pertumbuhan ekonomi dan perang Rusia-Ukraina menjadi suatu peristiwa yang telah berlangsung lama. Sebaliknya ketika kedua hal tersebut yang menjadi alasan diterbitkannya PERPU, pemerintah wajib menjelaskan kenapa PERPU baru diterbitkan pada akhir tahun 2022 dan bukan pada masa-masa awal kedua peristiwa tersebut berlangsung.

Kebijakan PERPU yang dikeluarkan nyatanya menjadi suatu preseden buruk bagi pemerintahan Bapak Jokowi bersama dengan para Menteri di Kabinet Kerjanya, yang berakibat pada hilangnya kepercayaan publik atas suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh negara. Ditambah lagi bahwa kebijakan yang dibuat tersebut tidak dan/atau belum dijelaskan secara gamblang ke hadapan publik soal kenapa kebijakan tersebut harus dikeluarkan.

Justru dengan diterbitkanya PERPU di akhir tahun 2022, telah membenarkan asumsi publik jika sebenarnya pemerintah tidak memahami konteks peristiwa global dan tidak responsif terhadap pelbagai gejolak ekonomi dan politik yang terjadi di dunia. Maka dengan demikian, sudah cukup berlasan untuk mengatakan terbitnya PERPU Cipta Kerja bukanlah sesuatu yang lahiriah-nya disebabkan oleh ikhwal kegentingan memaksa, melainkan patut untuk dipertanyakan mengapa pemerintah begitu nekadnya menerbitkan PERPU Cipta Kerja dan bukannya memperbaiki Uu Cipta Kerja yang sebelumnya telah diputus konstitusional bersyarat oleh MK.